Pemikiran dan Konsep Ekonomi Bung Hatta
Oleh:
Meutia Farida Hatta Swasono
Pandangan Bung Hatta tentang Kesejahteraan Rakyat
Kita semua telah mengetahui perjuangan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia bersama Bung Karno.
Apa yang akan saya kemukakan adalah konsistensi antara perjuangan mencapai dan mengisi kemerdekaan yang telah dilakukan Bung Hatta sebagai contoh dari totalitasnya yang berikutnya.
Seringkali di berbagai kesempatan dan pada berbagai tulisan, Bung Hatta menegaskan tentang perbedaan antara “kedaulatan rakyat Indonesia” dengan kedaulatan rakyat di Barat. Kedaulatan rakyat sebagai inti dari demokrasi (Volkssouvereiniteit atau people’s sovereignty) berbeda antara paham Indonesia dan paham Barat. Kedaulatan rakyat sebagai inti demokrasi tidaklah sama mengenai apa yang berlaku di Barat dan yang berlaku di Indonesia.
Demokrasi di Barat bertumpu pada paham liberalisme dan individualisme. Di pihak lain, demokrasi di Indonesia yang juga bertumpu “rasa bersama”, lebih spesifik lagi, berdasar pada paham kebersamaan dan asas kekeluargaan (brotherhood).
Kebersamaan dan asas kekeluargaan yang sesuai dengan budaya Indonesia ini juga dikenal di Barat dengan istilah mutualism and brotherhood, yangkiranya di dalam lingkungan masyarakat beragama Islam dikenal sebagai ke-jemaah-andanke-ukhuwah-an. Demokrasi Barat yang juga bertumpu pada kedaulatan rakyat itu disebut sebagai demokrasi liberal yang menjunjung tinggi nilai-nilai individualisme. Kepentingan individu atau orang per orang lebih diutamakan dalam demokrasi Barat.
Sebaliknya dalam demokrasi Indonesia, yang dipentingkan adalah kebersamaan dan kepentingan bersama, artinya mengutamakan kepentingan kolektif. Demokrasi Indonesia atas dasar kebersamaan dan asas kekeluargaan ini di dalam kehidupan keekonomian ditegaskan dalam Pasal 33 UUD 1945.
Pasal 33 UUD 1945 berbunyi:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara.
UUD yang diamandemen pada tahun 2002 (melalui Amandemen keempat terhadap UUD 1945) menambah Pasal 33 UUD 1945 dengan dua ayat, yaitu:
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional; (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Saya bukan ahli ekonomi, saya memahami Pasal 33 UUD 1945 hanya secara umum saja, tidak mendetail dan mendalam. Namun dari berbagai pemberitaan saat ini, saya dapat menangkap bahwa setelah paham ekonomi komunis yang berlaku di Uni Soviet dan di Eropa Timur runtuh dan kemudian saat ini kita menyaksikan bahwa paham kapitalisme Barat dengan pasar-bebasnya mulai guncang dan mulai diragukan oleh rakyat Amerika Serikat dan Eropa, maka oleh kelompok ekonomi yang menyebut dirinya berpaham ekonomi konstitusi, Pasal 33 UUD 1945 mulai dibangkitkan kembali menjadi harapan dan andalan. Para pemenang Nobel sejak awal millenium baru ini seperti Prof. Stiglitz, Prof. Akerlof, Prof. Krugman telah menegaskan bahwa globalisasi yang berdasarkan kapitalisme dengan pasar-bebasnya tidak bisa dipertahankan. Sebelum millennium lalu berakhir, Prof. Anthony Giddens sudah membayangkan diperlukannya “jalan ketiga” yang bukan sosialis-komunis dan bukan pula kapitalisme pasar-bebas.
Jauh-jauh hari pada tahun 1934 Bung Hatta telah menolak pasar-bebasnya Adam Smith, dan tentu Hatta sebelum itu, tatkala memimpin Perhimpunan Indonesia, sebelum tahun 1930 telah dengan tegas menolak pula komunisme. Kemudian ketika beliau dibuang di Boven Digoel pada tahun 1935 Bung Hatta sudah mulai menggagas Pasal 33 UUD 1945.
Perlu saya tegaskan di sini paham ekonomi Bung Hatta sebagaimana terumuskan dalam Pasal 33 UUD 1945 bukanlah “jalan tengah” melainkan adalah “jalan lain”. Bung Hatta sendiri menyebutnya sebagai “jalan lurus”, yaitu “jalan Pancasila”. Di sinilah dalam konsepsi ekonomi Bung Hatta, pembangunan adalah proses humanisasi, memanusiakan manusia, bahwa yang dibangun adalah rakyat, bahwa pembangunan ekonomi adalah derivat dan pendukung pembangunan rakyat. Di dalam kehidupan ekonomi yang berlaku adalah “daulat-rakyat” bukan “daulat-pasar”.
Bung Hatta menegaskan pula bahwa di dalam membangun perekonomian nasional berlaku “doktrin demokrasi ekonomi”, bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang, kemakmuran adalah bagi semua orang, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat.
Sebagai ilmuan Antropologi tentu saya tidak piawai dalam ilmu ekonomi, oleh karena itu berikut ini saya kutipkan pandangan dari seorang ekonom yang saya nilai memahami pemikiran Bung Hatta mengenai disain ekonomi nasional Indonesia, berkaitan dengan Pasal 33 (ayat 1) UUD 1945 yang berbunyi “Perekonomian disusunsebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan, sebagai berikut:
“…Perekonomian tentu meliputi seluruh wadah ekonomi, tidak saja badan usaha koperasi, tetapi juga meliputi BUM dan juga badan usaha swasta.
Disusun (dalam konteks orde ekonomi dan sistem ekonomi) artinya adalah bahwa perekonomian, tidak dibiarkan tersusun sendiri melalui mekanisme dan kekuatan pasar, secara imperatif tidak boleh dibiarkan tersusun sendiri mengikuti kehendak dan selera pasar. Dengan demikian peran Negara tidak hanya sekedar mengintervensi, tetapi menata, mendesain dan merestruktur, untuk mewujudkan kebersamaan dan asas kekeluargaan serta terjaminnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pasal 33 UUD 1945 ini secara mendasar menolak paham fundamentalisme pasar. Pasar adalah ekspresi selera dan kehendak si kaya yang memiliki tenaga beli. Oleh karena itu dalam sistem ekonomi yang pro-pasar maka pola-produksi (dan selanjutnya pola-konsumsi) akan dibentuk sesuai dengan kehendak si kaya dan oleh perhitungan untung-rugi ekonomi. Apa yang penting untuk dikemukakan di sini dalam kaitannya dengan Pasal 33 UUD 1945 adalah bahwa Pembangunan Nasional tidak seharusnya diserahkan pada kehendak pasar dan selera pasar, apalagi pada naluri dasar (kerakusan) pasar.
Untuk Indonesia yang mewarisi berbagai ketimpangan-ketimpangan struktural, baik dari segi hukum, sosial dan politik, tak terkecuali dari segi ekonomi, maka Pembangunan Nasional haruslah dilakukan melalui suatu perencanaan nasional. Masa depan Indonesia harus didisain dan ditata, strategi pembangunan harus dengan tandas digariskan, sesuai dengan pesan konstitusi. Perencanaan pembangunan nasional adalah pilihan imperatif, perekonomian harus disusun, sekali lagi tidak dibiarkan tersusun sendiri melalui mekanisme pasar-bebas. Pasar tidak akan mampu mengatasi ketimpangan-ketimpangan struktural.
Usaha bersama adalah wujud paham mutualisme, suatu kehendak untuk senantiasa mengutamakan semangat bekerjasama dalam kegotongroyongan, dalam ke-jemaah-an, dengan mengutamakan keserikatan, tidak sendiri-sendiri.
Asas kekeluargaan adalah brotherhood atau ke-ukhuwah-an (yang bukan kinshipnepotistik) sebagai pernyataan adanya tanggungjawab bersama untuk menjamin kepentingan bersama, kemajuan bersama dan kemakmuran bersama, layaknya makna brotherhood yang mengutamakan kerukunan dan solidaritas. Dalam negara yang pluralistik ini brotherhood adalah suatu ke-ukhuwah-an yang wathoniyah. …”.
Bolehlah saya bertanya, apakah pesan konstitusi ini telah diterjemahkan dan dijabarkan dalam pengajaran ilmu ekonomi di ruang-ruang kelas? Dengan kata lain apakah yang diajarkan justru ilmu ekonomi kapitalistik neoliberal yang berdasar pasar-bebas yang ditentang oleh doktrin demokrasi ekonomi yang mendasari Pasal 33 UUD 1945?
Yang perlu kita amati adalah “pendatang baru” dalam pemikiran-pemikiran ekonomi yang diperkenalkan dengan istilah “Ekonomi Syariah”. Sekali lagi akan saya kutipkan pendapat seorang ekonom yang memahami pikiran-pikiran Bung Hatta yang telah secara formal menjadi pesan konstitusi kita, sebagai berikut:
“…Pada kesempatan ini saya rasakan perlunya mencoba menjelaskan dari sudut pandang Syariah sebagai berikut. Bunyi Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 menegaskan bahwa ‘…Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan…’.
Perekonomian disusun, artinya imperatif harus disusun dan tidak dibiarkan tersusun sendiri, haruslah disusun karena Firman Allah ‘…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu…’ (Al-Hasyr, ayat 7).
Demikian pula disusun agar tidak terjadi konsentrasi penguasaan (tidak boleh terjadi pemonopolian) terhadap sumber-sumber kekayaan karena ‘…Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada di dalamnya, Dia Maha Kuasa atas segalanya…’ (Al-Maidah, ayat 120). Dan ‘…sungguh, orang muslim hanya satu dalam persaudaraan…’ (Al-Hujurat, ayat 10).Demikian pula Tuhan tidak menghendaki penguasaan harta secara mutlak, maka Tuhan berfirman ‘…Celakalah…yang menimbun harta dan menghitung-hitungnya…’ (Al-Humazah, ayat 2).
Bahwa perekonomian harus disusun, tidak boleh dibiarkan tersusun sendiri melalui mekanisme pasar-bebas a la competitive economics, maka makin jelas dari Sabda Rasul SAW (HR Abu Dawud) agar ‘…Manusia berserikat dalam tiga hal: air, api dan rumput…’. Berserikat adalah wujud paham kebersamaan, berserikat adalah wujud pengaturan berdasar musyawarah dan mufakat.
Itulah sebabnya Pasal 33 UUD 1945 adalah sangat Islami karena diutamakannya‘usaha bersama’ atau usaha ‘ber-jemaah’, yang dalam bahasa ekonomi saya sebut sebagai mutualism, melalui perserikatan itu yang berarti menolak individualisme atau asas perorangan…
Demikian pula arti dari ‘asas kekeluargaan’ yang dalam bahasa ekonomi saya sebut sebagai brotherhood, yang dalam bahasa agama kita sebut sebagai ‘ukhuwah’, baikdiniyah, wathoniyah maupun bashariyah.
Demikian pula perlu kita catat bahwa Pasal 34 UUD 1945 yang menegaskan ‘Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara’ menunaikan QS. 107: 1-7. Bahwa definisi pembangunan telah terkoreksi dan berkembang ke arah people-centered dan humanism, harus kita sadari dan terus kita tuntut…”.
Sesungguhnya “Ekonomi Syariah” seiring dan compatible dengan Pasal 33 UUD 1945, bahkan dengan Pasal 27 (ayat 2)?
Bagi Bung Hatta, ajaran agama Islam yang diterimanya sejak kecil bukan untuk memamerkan kemampuan mengaji karena sudah seharusnya orang Islam belajar al-Qur’an, atau memakai atribut-atribut dan asesori yang menggambarkan dirinya seorang Islam. Bagi Bung Hatta, Islam untuk diamalkan, bagaikan garam, tak terlihat tetapi terasa dalam makanan, bukan sebagai gincu (lipstick), kelihatan tetapi tak terasa. Sebaliknya bagi Bung Hatta, nilai-nilai Islam harus dijadikan sarana untuk mensejahterakan rakyat. Ilmu ekonomi harus membuat sistem perekonomian Indonesian menjadi sarana mensejahterakan rakyat, bukan untuk kepentingan kelompok atau individu sebagaiman sudah dijelaskan di atas.
Pemikiran Bung Hatta mengenai Koperasi
Perkataan “koperasi” ada pada UUD 1945, pada Penjelasan Pasal 33 UUD 1945. UUD 1945 hasil amandemen tidak lagi memiliki Penjelasan. Untuk itu, hendaknya gerakan koperasi dan pencinta koperasi tidak kehilangan semangat, karena sesuai degan penegasan ahli hukum Prof. Maria Farida Indrati untuk Pasal-Pasal dan Ayat-Ayat yang tidak diamandemen, maka Penjelasan UUD 1945 tetap berlaku, termasuk Penjelasan Pasal 33 Ayat (1), (2) dan (3) yang tetap tidak diubah (tidak diamandemen).
Ilmu koperasi dan kooperativisme harus dapat dengan tangguh dan paripurna dipahami oleh generasi muda masa kini.
Barangkali kita harus mampu menjelaskan kepada masyarakat umum dan juga kepada para mahasiswa kita bahwa koperasi bukanlah PT (Perseroan Terbatas) yang diberi nama Koperasi. Pemilik PT adalah para pemegang saham dan pelanggan PT adalah para konsumen yang membeli barang dan jasa dari PT itu. Namun Koperasi sangat berbeda. Pemilik Koperasi adalah juga pelanggannya sendiri. Oleh karena itu kalau PT berusaha mencari laba yang dipungut dari para pelanggannya, maka Koperasi tidak mencari laba, karena tidak masuk akal memungut laba pada diri sendiri, karena pelanggan adalah sekaligus pemilik yang sama.
Tugas koperasi adalah memfasilitasi anggota agar anggota mampu mencari laba sendiri dari usahanya (apabila anggota koperasi adalah produsen dari koperasi produksi), atau mencari manfaat bila anggota koperasi adalah konsumen.
Hal yang penting kita ketahui adalah bahwa koperasi hanya didirikan apabila sekelompok orang yang ingin mendirikan koperasi itu memilki “kepentingan bersama” (misalnya supaya dagangannya laku, tidak menunggu pembeli hingga busuk). Kalau di antara calon-calon anggota tidak memiliki kepentingan bersama, janganlah sekali-kali mendirikan koperasi, sekedar karena bersimpati kepada ide koperasi.
Sekelompok orang yang memiliki kepentingan bersama itu haruslah orang-orang yang sering bertemu, baik yang berdasar alasan se-rukun tempat tinggal, se-RT se-RW, setempat kerja, seprofesi, atau pun sejenis matapencaharian.
Sukma dasar dari koperasi adalah “menolong diri sendiri secara bersama-sama”. Secara bersama-sama itulah akan membentukkan sinergi, yaitu kemampuan yang berlipat-ganda untuk menyelesaikan kepentingan bersama.
Pandangan Bung Hatta Mengenai Masalah Globalisasi
Saat ini kita sedang ramai berbicara mengenai globalisasi. Globalisasi adalah istilah baru di dalam kamus-kamus bahasa Inggris yang terbit sebelum 1995 tidak didapati istilah globalization, hanya akan ditemukan perkataan global, globalism, globally, globe.
Globalisasi adalah gejala meluasnya global networking yang dipacu oleh perkembangan komunikasi dan informasi menembus batas-batas dan sekat-sekat antar negara, dunia makin menjadi terbuka, hubungan sosial, politik, budaya peradaban dan ekonomi makin mengglobal. Bung Hatta, sejak awal kemerdekaan, tepatnya pada tanggal 3 Februari 1946 telah mampu melihat ke depan. Beliau menegaskan perlunya saat itu Indonesia “menyambung” ekonomi nasional dengan ekonomi seluruh dunia. Bagi Hatta globalisasi telah dilihatnya sebagai suatu kenyataan masa depan yang harus dirintis dan akan terjadi. Betapapun Bung Hatta bicara mengenai bagaimana menyambung ekonomi nasional dengan ekonomi global, namun Bung Hatta tetap berpedoman bahwa kepentingan nasional harus diutamakan tanpa mengabaikan tanggungjawab global, jadi titik-tolaknya tetap berpegang teguh pada nasionalisme ekonomi. Nasionalisme tidak pernah usang, untuk itu perlu saya kutipkan sebagai tertulis di catatan kaki.
Berkecamuknya Neoliberalisme
Karena kita telah mengabaikan sistem demokrasi Indonesia yang kita kenal sebagai Demokrasi Pancasila, dan dengan membiarkan meluasnya hegemoni akademis terhadap kampus-kampus kita (sehingga kurikulum dan silabus di kelas-kelas kita terkapsul oleh paham demokrasi Barat yang berdasar liberalisme dan individualism) maka di dalam kehidupan ekonomi Indonesia “demokratisasi ekonomi” dengan sendirinya diterjemahkan menjadi “liberalisasi” dan “privatisasi” di dalam kehidupan ekonomi. Badan-badan usaha negara yang merupakan “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak” mulai diprivatisasi, BUMN-BUMN strategis, tak terkecuali Indosat dan Krakatau Steel dijual ke swasta, bahkan ke swasta asing. Oleh karena itu kita perlu meluruskan makna demokrasi dengan kebersamaan dan asas kekeluargaan sebagaimana dikemukakan oleh Bung Hatta sebagai landasannya.
Prinsip dari demokrasi adalah partisipasi dan emansipasi. Itulah sebabnya maka Bung Hatta mengartikan demokrasi sebagai lembaga politik di mana “semua diwakili” bukan yang “semua dipilih” seperti demokrasi di Barat. Semu diwakili berarti pengambilan keputusan yang paling tepat adalah melalui mekanisme musyawarah dan mufakat sedangkan semua dipilih sebagai dasar bagi demokrasi Barat berarti sebagai konsekuensi pengambilan keputusan dilakukan melalui voting berdasar suara terbanyak.
Dari sudut national wisdom Indonesia, maka kebenaran adalah kebenaran, sebagai suatu permufakatan antar orang-orang yang mencari hikmah kebijaksanaan. Kebenaran bukanlah hitung-hitungan aritmatik belaka atas dasar suara orang banyak belaka. Itulah sebabnya pula bahwa di dalam buku kecil monumental Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita, Bung Hatta membela Pancasila atas dasar berlakunya musyawarah dan mufakat. Di sini Bung Hatta berbeda pendapat dengan Bung Karno yang melahirkan Pancasila dan menyebut gaya demokrasi Bung Karno sebagai diktatur (dictatuur).
Catatan kaki;
Joan Robinson (1962): “… Ilmu ekonomi sebenarnya berakar pada nasionalisme … Aspirasi negara berkembang lebih tertuju pada tercapai dan terpeliharanya kemerdekaan serta harga diri bangsa daripada sekadar untuk makan … Para penganut mazhab klasik menjagoi perdagangan bebas dengan alasan bahwa hal ini menguntungkan bagi Inggris dan bukan karena bermanfaat bagi seluruh dunia…”.
Ho Chi Minh (awal 1970-an): “…Kami akan menang perang… kami mempunyai senjata rahasia, yaitu nasionalisme…”.
Leah Greenfeld (2001): “…Tidak dapat dipungkiri bahwa nasionalisme… tidak menghilang, dan bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera menghilang… Nasionalisme pertama kali muncul di Inggris dan telah sangat mempengaruhi pandangan masyarakatnya … ciri-ciri pertumbuhan yang berkesinambungan dari suatu perekonomian modern ternyata tidak berlangsung secara berkesinambungan; pertumbuhan hanya akan berkelanjutan justru jika di dorong dan di topang oleh nasionalisme…”.
Ian Lustic (2002): “…Nasionalisme jelas merupakan suatu kekuatan pembangunan yang tak ada tandingannya di dunia masa kini…”.
Meutia Hatta (2006): ”…Ketika bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya dengan segala alasan dan tuntutan yang rasional dan sah, tidak ada hal lain bagi kita kecuali untuk mempertahankan dan mensyukurinya. Nasionalisme tidak saja indah, memberikan harga-diri, percaya-diri dan jati-diri, tetapi juga harus disyukuri sebagai karunia Tuhan…”.
Widjojo Soejono (2011): ”…nation state is and will remain the most realistic and final form of human institution on earth… vigilance is the price of liberty that every nationalist is ready to pay for…”.
NOIA! Store